Manusia yang masih mencari jati diri karena ketertarikannya pada isu anak, keluarga, komunitas, dan pemberdayaan. Berhasil dalam perjuangan memperoleh pengalaman dan pengetahuan di jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Jember. Dalam proses belajar dan menjadi manusia yang utuh
Masa Depan Anak Tidak Seharusnya Ditentukan oleh Dompet Orang Tua
7 jam lalu
Biaya membesarkan anak makin mahal. Negara tak bisa terus lepas tangan dan menyerahkan beban sepenuhnya pada keluarga.
***
Seiring berjalannya waktu, biaya membesarkan anak semakin mahal. Orang tua dituntut memenuhi kebutuhan nutrisi, kesehatan, pendidikan, hingga keamanan anak. Namun, beban ini makin terasa berat ketika negara tidak hadir untuk meringankan tanggung jawab. Alih-alih menjadi pelindung dan penjamin kesejahteraan, negara justru membiarkan keluarga berjuang sendiri. Akibatnya, masa depan anak lebih bergantung pada kemampuan ekonomi orang tua ketimbang pada jaminan keadilan bersama.
Dari Hak Menjadi Lotre
Tanpa layanan kesehatan universal, hanya keluarga kaya yang bisa membawa anak mereka rutin ke dokter, mendapatkan vaksin, atau menjalani pengobatan. Anak-anak dari keluarga miskin harus puas dengan pengobatan seadanya, atau bahkan menunda perawatan hingga terlambat. Kondisi ini menjadikan kesehatan anak ibarat lotre: siapa yang lahir di keluarga kaya punya peluang lebih besar untuk tumbuh sehat, sementara yang miskin akan tertinggal.
Padahal, kesehatan tidak hanya ditentukan oleh layanan medis. Faktor sosial—seperti kualitas makanan, lingkungan tempat tinggal, dan stabilitas keluarga—juga berperan besar. Sayangnya, semua itu hanya bisa dijangkau oleh keluarga yang cukup mampu. Ketika negara abai menjamin akses kesehatan dasar, maka yang menentukan panjang-pendeknya umur anak bukan keadilan, melainkan isi dompet orang tua.
Hak atau Privilege?
Hal serupa terjadi di bidang pendidikan. Ketika sekolah negeri tidak dibiayai dengan baik, kualitasnya merosot. Orang tua yang punya dana bisa menyekolahkan anaknya di sekolah swasta atau membayar bimbingan belajar. Sebaliknya, anak dari keluarga miskin terpaksa menerima kualitas pendidikan yang rendah.
Hasilnya, prestasi anak-anak mencerminkan pendapatan orang tua, bukan kemampuan atau kerja keras mereka. Pendidikan berubah menjadi privilege bagi yang mampu, sementara anak-anak dari keluarga miskin semakin terpinggirkan. Negara yang seharusnya menjamin akses setara justru menghapus mekanisme keadilan, membiarkan status sosial diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Masa Depan yang Ditentukan Jaringan Orang Tua
Tidak berhenti di situ. Beasiswa, bimbingan karier, atau program pemuda yang seharusnya membuka jalan bagi anak-anak; sering kali hilang ketika negara menarik diri. Akibatnya, masa depan anak lebih banyak ditentukan oleh jaringan, koneksi, dan sumber daya orang tua. Anak-anak yang lahir di keluarga mampu bisa membayar bimbingan tambahan, membayar biaya kuliah, atau memanfaatkan relasi. Anak-anak dari keluarga miskin kembali tersingkir karena tidak punya modal sosial maupun finansial.
Padahal, masa depan seharusnya dibentuk oleh investasi bersama, bukan oleh keberuntungan lahir di keluarga tertentu. Tanpa intervensi negara, kesempatan anak-anak menjadi timpang dan tidak adil sejak awal.
Siklus Ketidakadilan Struktural
Ketika setiap keluarga dipaksa menanggung sendiri tanggung jawab membesarkan anak, kekayaan dan kesengsaraan pun diwariskan. Inilah yang disebut ketidakadilan struktural: anak-anak miskin tetap miskin bukan karena mereka tidak berbakat atau malas, melainkan karena sistem sosial sudah disusun untuk merugikan mereka.
Dengan menarik diri, negara menyerahkan peran vitalnya kepada mekanisme pasar—sekolah swasta, layanan kesehatan berbayar, hingga perumahan mahal—yang secara alami menguntungkan orang kaya. Akibatnya, anak-anak dari keluarga miskin tumbuh dengan peluang yang lebih sempit, dan masa depan mereka seolah sudah ditentukan sejak lahir.
Beban yang Tak Layak Ditanggung Sendiri
Makin mahalnya biaya membesarkan anak bukan sesuatu yang harus diterima begitu saja. Ini adalah gejala dari kelalaian negara dalam menyediakan layanan publik yang adil. Karena itu, tidak adil jika masyarakat menyalahkan orang tua miskin karena tidak mampu memenuhi kebutuhan anaknya. Kebutuhan dasar anak adalah tanggung jawab kolektif yang seharusnya dijamin oleh negara.
Jika negara terus lepas tangan, masa depan anak-anak Indonesia akan tetap ditentukan oleh keberuntungan lahir di keluarga tertentu. Sudah saatnya kita menuntut negara hadir kembali, agar membesarkan anak bukan hanya perjuangan individu, melainkan bagian dari keadilan bersama. #ResetIndonesia

Penulis Indonesiana
1 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler